"Apakah Darah Najis dan Membatalkan Wudhu ?"


Pertanyaan:

Apakah darah yang keluar dari tubuh manusia hukumnya najis? Dan apakah keluarnya darah tersebut membatalkan wudhu’?



Jawab :

Fadhilatus Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah menjawab:

Darah yang keluar dari tubuh manusia apabila keluar dari dua jalan yaitu qubul (kemaluan) dan dubur (anus) maka hukumnya najis dan dapat membatalkan wudhu baik jumlahnya sedikit ataupun banyak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita untuk mencuci darah haidh secara mutlak. Ini merupakan dalil bahwa darah haidh tersebut najis dan tidak ditolerir walaupun ringan. Seperti itu juga darah yang keluar dari kemaluan maupun anus hukumnya najis, tidak ditolerir walaupun ringan, dan sedikit banyaknya dapat membatalkan wudhu.

Adapun darah yang keluar dari tubuh yang lain, entah dari hidung, atau dari gigi, atau dari luka, atau yang lain, maka hal tersebut tidak membatalkan wudhu baik jumlahnya sedikit atapun banyak. Ini merupakan pendapat yang rajih (kuat), bahwa sesuatu yang keluar dari badan selain dari dua jalan (qubul dan dubur) tidaklah membatalkan wudhu. Sama saja apakah itu keluar dari hidung, atau dari gigi, atau selainnya. Sama saja apakah jumlahnya sedikit atau banyak, karena sesungguhnya tidak ada dalil yang menunjukkan batalnya wudhu dengan hal tersebut. Pada asalnya Thaharah tetap terpelihara sampai ada dalil yang menunjukkan kebatalannya.

Adapun tentang najisnya darah, maka pendapat yang masyhur di kalangan para ulama bahwa darah itu hukumnya najis dan wajib mencucinya, namun dimaafkan bila kondisinya ringan (jumlahnya sangat sedikit) karena sulit untuk menghindarinya. Wallahu a’lam.

Namun Syaikh Albani rahimahullah menguatkan pendapat bahwa darah seorang muslim adalah suci karena tidak ada dalil yang menunjukkan ketidaksuciannya berdasarkan keumuman dalil (الْمُسْلِمُ لَا يَنْجَسُ) “Seorang muslim tidaklah najis,” dan ada atsar yang menyatakan bahwa kaum muslimin shalat dalam keadaan mereka terluka (berdarah-darah). Mengambil ‘ibrah (pelajaran) dari sebuah dalil adalah apabila dalil tersebut shahih dari Nabi yang ma’sum shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat kembali kitab Syaikh Albany tentang Fiqhussunnah dan kitab karya Muhammad Hasan Hallaq, dan selainnya seperti kitab-kitab karya Imam as-Syaukani, Wallahu a’lam)

[Lihat Fatwa Syaikh ‘Utsaimin Jilid 11, pertanyaan ke 140]

*****

Sumber : Al-Ajwibatun Nafi’ah Lil ‘Amiliin fil Majaalit Thibbi karya Ibrahim Ismail Ghanim (Abu Abdirrahman)

Penerjemah : dr. Supriadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Saat Ibu Memasak Di Dapur"

"Tanya-Jawab Mengenai Radang Usus Buntu (Apendisitis)"

PEMBANTU LUGU