"Tiga Tanda Bahaya Mentalitas Miskin Part I"
Tanda bahaya mentalitas miskin no 1:
Uang, uang, uang.
Tanda bahwa Anda memiliki mentalitas miskin ini di kepala Anda adalah bila Anda tidak berhenti berpikir tentang uang, uang, uang, uang dan uang.
Mari saya tanya, "Apa yang Anda pikirkan tentang uang? Kapan Anda berpikir tentang uang? Apakah Anda sering cemas karena tidak punya cukup uang, atau bertanya-tanya berapa yang bisa Anda dapatkan? Pernahkah Anda berpikir tentang apa alasan Anda menginginkan uang, dan kemungkinan bahwa Anda bisa saja mendapatkan semua itu walau tanpa uang? Apakah Anda merasa harus selalu punya uang?"
Apakah Anda merasa iri bila ada orang yang mendapatkan uang lebih banyak dari Anda, "Kok dia bisa dapat uang lebih banyak dari saya, ya? Kok gajinya lebih besar ya?" Dan ungkapan cemburu serupa, walau tidak diucapkan dengan mulut.
Banyak orang yang miskin atau bermental miskin yang menghabiskan waktu dan energi mereka dengan memikirkan tentang uang, atau lebih tepatnya, memikirkan fakta bahwa mereka tidak punya (cukup) uang.
Tidak peduli berapa banyaknya pun uang Anda, bila Anda masih berkutat dengan pikiran tentang uang-uang seperti di atas, maka mentalitas Anda masih miskin, dan kehidupan Anda masih dipenuhi dengan "duka cita" karena ketiadaan cukup uang, atau kecemasan atau ketakutan akan kekurangan, kehilangan atau tidak kebagian uang, atau tidak semangat melakukan apapun bila tidak ada uangnya, dsb.
Pokoknya, bila semua pemikiran Anda tentang segala segi kehidupan Anda masih diwarnai dan dimotivasi oleh sebuah alat tukar bernama uang, ini adalah tanda bahaya masih adanya mentalitas miskin dalam diri Anda.
Dahulu ketika saya masih miskin (dan bermental miskin), pertanyaan-pertanyaan seperti di atas itulah yang menghiasi keseharian saya. Begitu juga kegiatan yang berkutat dengan uang, dari yang mencatat semua bentuk pengeluaran dari yang kecil sampai yang besar di tiap akhir hari, menghitung-hitung uang apakah bakal cukup sampai akhir bulan, sampai bertanya-tanya terus tentang bagaimana orang kaya mendapat uang mereka.
Kalau ada tawaran pekerjaan, yang saya tanyakan pertama adalah berapa bayarannya. Kalau diajak usaha, berapa untungnya.
Hidup saya terfokus pada uang dan terutama pada ketiadaannya dalam hidup saya.
Tiada habis saya memikirkan tentang hal-hal yang tidak bisa saya beli karena tidak ada uang, serta hal-hal yang mungkin saya beli seandainya saya punya uang.
Saya sering mengkhayal tentang turun hujan uang dari langit.
Saya juga sering sekali iri hati, dan dengki malah, pada mereka yang kaya, yang hidupnya sepertinya senang terus, selalu punya uang untuk apapun yang mereka inginkan.
Sering saya menghibur hati dengan mengingat sebuah ajaran bahwa katanya orang kaya sering terhalang masuk surga karena hartanya. Karena banyak dari uangnya yang mungkin tidak berasal dari sumber yang halal. Dan kalau sudah begini, baru saya merasa tidak terlalu sedih dan iri lagi walau tidak kaya.
Singkatnya, pikiran tentang uang tidak pernah lepas benar-benar dari benak saya 24/7.
Padahal, uang itu seperti kupu-kupu yang semakin Anda kejar dengan agresif, justru semakin sulit untuk Anda tangkap.
Sebaliknya, bila kita berhenti mengejar, bisa saja tiba-tiba kupu-kupu tersebut mendekat dan bahkan hinggap, ketika kita justru sedang sibuk menikmati keindahan bunga.
Source : http://www.suksestotal.com
Tanda bahwa Anda memiliki mentalitas miskin ini di kepala Anda adalah bila Anda tidak berhenti berpikir tentang uang, uang, uang, uang dan uang.
Mari saya tanya, "Apa yang Anda pikirkan tentang uang? Kapan Anda berpikir tentang uang? Apakah Anda sering cemas karena tidak punya cukup uang, atau bertanya-tanya berapa yang bisa Anda dapatkan? Pernahkah Anda berpikir tentang apa alasan Anda menginginkan uang, dan kemungkinan bahwa Anda bisa saja mendapatkan semua itu walau tanpa uang? Apakah Anda merasa harus selalu punya uang?"
Apakah Anda merasa iri bila ada orang yang mendapatkan uang lebih banyak dari Anda, "Kok dia bisa dapat uang lebih banyak dari saya, ya? Kok gajinya lebih besar ya?" Dan ungkapan cemburu serupa, walau tidak diucapkan dengan mulut.
Banyak orang yang miskin atau bermental miskin yang menghabiskan waktu dan energi mereka dengan memikirkan tentang uang, atau lebih tepatnya, memikirkan fakta bahwa mereka tidak punya (cukup) uang.
- Aku lagi gak punya uang nih ... ,
- Kapan aku punya uang banyak ya... ,
- Kalau aku punya uang ... ,
- Nanti kalau aku punya uang ... ,
- Seandainya aku punya uang ... ,
- Bagaimana ya caranya aku dapat uang ... ,
- Berapa keuntungan yang aku dapat ... ,
- Pekerjaan itu, berapa ya gajinya ... ,
- Bagaimana melipat gandakan uang yang sudah aku punya ya ... ,
- Usaha apa yang paling bisa menghasilkan uang ya ... ,
- Bagaimana kalau uangku tidak cukup ... ,
- Ada gak yang lebih murah agar aku dapat untung & menghemat uang ... ,
- Kenapa gajiku gak naik-naik ya ... ,
- Kalau aku dipecat, gak ada lagi gaji, keluargaku makan apa ... ,
- Wah uangku ini masih kurang ... ,
- Bagaimana kalau tidak punya uang ... ,
- Ada uang lelahnya gak ya ... ,
- Wah gaji bulan ini sudah habis, kasbon di mana lagi ya ... ,
- Aduh uangku udah habis lagi nih, bokek lagi nih ... ,
- Dsb. Pokoknya uang, uang, uang ... ,
Tidak peduli berapa banyaknya pun uang Anda, bila Anda masih berkutat dengan pikiran tentang uang-uang seperti di atas, maka mentalitas Anda masih miskin, dan kehidupan Anda masih dipenuhi dengan "duka cita" karena ketiadaan cukup uang, atau kecemasan atau ketakutan akan kekurangan, kehilangan atau tidak kebagian uang, atau tidak semangat melakukan apapun bila tidak ada uangnya, dsb.
Pokoknya, bila semua pemikiran Anda tentang segala segi kehidupan Anda masih diwarnai dan dimotivasi oleh sebuah alat tukar bernama uang, ini adalah tanda bahaya masih adanya mentalitas miskin dalam diri Anda.
Dahulu ketika saya masih miskin (dan bermental miskin), pertanyaan-pertanyaan seperti di atas itulah yang menghiasi keseharian saya. Begitu juga kegiatan yang berkutat dengan uang, dari yang mencatat semua bentuk pengeluaran dari yang kecil sampai yang besar di tiap akhir hari, menghitung-hitung uang apakah bakal cukup sampai akhir bulan, sampai bertanya-tanya terus tentang bagaimana orang kaya mendapat uang mereka.
Kalau ada tawaran pekerjaan, yang saya tanyakan pertama adalah berapa bayarannya. Kalau diajak usaha, berapa untungnya.
Hidup saya terfokus pada uang dan terutama pada ketiadaannya dalam hidup saya.
Tiada habis saya memikirkan tentang hal-hal yang tidak bisa saya beli karena tidak ada uang, serta hal-hal yang mungkin saya beli seandainya saya punya uang.
Saya sering mengkhayal tentang turun hujan uang dari langit.
Saya juga sering sekali iri hati, dan dengki malah, pada mereka yang kaya, yang hidupnya sepertinya senang terus, selalu punya uang untuk apapun yang mereka inginkan.
Sering saya menghibur hati dengan mengingat sebuah ajaran bahwa katanya orang kaya sering terhalang masuk surga karena hartanya. Karena banyak dari uangnya yang mungkin tidak berasal dari sumber yang halal. Dan kalau sudah begini, baru saya merasa tidak terlalu sedih dan iri lagi walau tidak kaya.
Singkatnya, pikiran tentang uang tidak pernah lepas benar-benar dari benak saya 24/7.
Sebaliknya, bila kita berhenti mengejar, bisa saja tiba-tiba kupu-kupu tersebut mendekat dan bahkan hinggap, ketika kita justru sedang sibuk menikmati keindahan bunga.
Source : http://www.suksestotal.com
Komentar