10 Kiat Sukses Penulis Best Seller Bagian 4
(Sambungan dari Bagian 3)
Tapi jujur, ketika brand itu sudah didapat sejak beberapa tahun lalu, tujuan saya menulis berubah yaitu untuk idealisme. Orang Indonesia harus mendapatkan edukasi tentang bagaimana cara yang baik dalam mengelola keuangan. Saya pikir, sah-sah saja kita menulis untuk tujuan bisnis, yaitu untuk branding. Tapi, saya pikir menulis untuk idealisme berupa edukasi akan jauh lebih mulia. Saya bukan orang suci. Tapi, dengan menulis untuk tujuan idealisme, saya pikir itu akan lebih fair buat pembaca. Karena, si penulis akan jadi lebih tulus dan netral dalam menulis, bukan karena ingin menjual atau memasarkan dirinya sendiri.
Anda setuju bahwa tulisan atau buku merupakan cara ampuh untuk menciptakan personal brand?
Setuju banget! Ada banyak buktinya. Tentu saja, buku dan artikel di media massa punya kekuatan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Artikel di media massa mungkin bisa menjangkau lebih banyak pembaca, tapi umurnya lebih pendek. Ketika saya menulis di sebuah tabloid mingguan dengan topik Kiat Mempersiapkan Masa Pensiun misalnya, memang banyak yang baca dan suka dengan topik itu. Tapi, umurnya cuma seminggu karena minggu depannya tabloid itu sudah terbit lagi yang baru. Untung saya nulisnya tiap minggu. Sementara kalau buku, pembacanya mungkin tidak sebanyak pembaca artikel di media massa. Tapi umurnya lebih panjang. Bisa beberapa bulan, sebelum akhirnya ada judul buku lain lagi yang menarik perhatian pembaca.
Tapi begini, sebuah tulisan bisa menciptakan personal brand tertentu. Asal, menurut saya, tulisan itu memiliki konsep yang betul-betul bisa diterima oleh pembaca. Dan, yang paling penting, tulisan itu menarik. Jangan lupa, konsisten pada satu topik. Saya pernah melihat ada orang yang—mungkin karena pinter banget—menulis tentang perencanaan keuangan, tapi juga menulis tentang bisnis dan ekonomi. Secara topik mungkin dia menguasai. Tapi secara marketing, itu bunuh diri. Jadi, dalam menulis, cobalah konsisten. Saya—biarpun bisa main golf misalnya—nggak akan mau nulis tentang golf, sampai kapan pun, karena itu bisa berbahaya bagi positioning saya.
Bagaimana dengan potensi pasar buku keuangan populer dan kewirausahaan sekarang ini?
Saya percaya bahwa topik buku apa pun—termasuk buku keuangan populer dan wirausaha—kalau dipasarkan dengan baik, tetap bisa laku. Jujur saja, sekarang ada banyak sekali buku keuangan populer dan kewirausahaan yang nggak laku di pasar. Kenapa? Macam-macam! Mungkin karena topiknya terlalu akademis. Mungkin karena bahasanya terlalu teoritis, dan sebagainya. Kalau reputasi pengarang? Eit..., jangan salah! Siapa nama pengarang nggak ngejamin bukunya bisa laku, lho. Jujur saja, bukan berarti nama saya Safir Senduk maka saya bisa sembarangan bikin buku perencanaan keuangan. Buku saya bisa laku lebih karena adanya pemilihan topik, kemasan, dan proses promosi yang panjang. Bukan karena nama saya Safir Senduk. Jadi, semua orang punya kesempatan yang sama untuk bikin buku perencanaan keuangan yang laku.
(Bersambung ke Bagian 5)
Tapi jujur, ketika brand itu sudah didapat sejak beberapa tahun lalu, tujuan saya menulis berubah yaitu untuk idealisme. Orang Indonesia harus mendapatkan edukasi tentang bagaimana cara yang baik dalam mengelola keuangan. Saya pikir, sah-sah saja kita menulis untuk tujuan bisnis, yaitu untuk branding. Tapi, saya pikir menulis untuk idealisme berupa edukasi akan jauh lebih mulia. Saya bukan orang suci. Tapi, dengan menulis untuk tujuan idealisme, saya pikir itu akan lebih fair buat pembaca. Karena, si penulis akan jadi lebih tulus dan netral dalam menulis, bukan karena ingin menjual atau memasarkan dirinya sendiri.
Anda setuju bahwa tulisan atau buku merupakan cara ampuh untuk menciptakan personal brand?
Setuju banget! Ada banyak buktinya. Tentu saja, buku dan artikel di media massa punya kekuatan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Artikel di media massa mungkin bisa menjangkau lebih banyak pembaca, tapi umurnya lebih pendek. Ketika saya menulis di sebuah tabloid mingguan dengan topik Kiat Mempersiapkan Masa Pensiun misalnya, memang banyak yang baca dan suka dengan topik itu. Tapi, umurnya cuma seminggu karena minggu depannya tabloid itu sudah terbit lagi yang baru. Untung saya nulisnya tiap minggu. Sementara kalau buku, pembacanya mungkin tidak sebanyak pembaca artikel di media massa. Tapi umurnya lebih panjang. Bisa beberapa bulan, sebelum akhirnya ada judul buku lain lagi yang menarik perhatian pembaca.
Tapi begini, sebuah tulisan bisa menciptakan personal brand tertentu. Asal, menurut saya, tulisan itu memiliki konsep yang betul-betul bisa diterima oleh pembaca. Dan, yang paling penting, tulisan itu menarik. Jangan lupa, konsisten pada satu topik. Saya pernah melihat ada orang yang—mungkin karena pinter banget—menulis tentang perencanaan keuangan, tapi juga menulis tentang bisnis dan ekonomi. Secara topik mungkin dia menguasai. Tapi secara marketing, itu bunuh diri. Jadi, dalam menulis, cobalah konsisten. Saya—biarpun bisa main golf misalnya—nggak akan mau nulis tentang golf, sampai kapan pun, karena itu bisa berbahaya bagi positioning saya.
Bagaimana dengan potensi pasar buku keuangan populer dan kewirausahaan sekarang ini?
Saya percaya bahwa topik buku apa pun—termasuk buku keuangan populer dan wirausaha—kalau dipasarkan dengan baik, tetap bisa laku. Jujur saja, sekarang ada banyak sekali buku keuangan populer dan kewirausahaan yang nggak laku di pasar. Kenapa? Macam-macam! Mungkin karena topiknya terlalu akademis. Mungkin karena bahasanya terlalu teoritis, dan sebagainya. Kalau reputasi pengarang? Eit..., jangan salah! Siapa nama pengarang nggak ngejamin bukunya bisa laku, lho. Jujur saja, bukan berarti nama saya Safir Senduk maka saya bisa sembarangan bikin buku perencanaan keuangan. Buku saya bisa laku lebih karena adanya pemilihan topik, kemasan, dan proses promosi yang panjang. Bukan karena nama saya Safir Senduk. Jadi, semua orang punya kesempatan yang sama untuk bikin buku perencanaan keuangan yang laku.
(Bersambung ke Bagian 5)
Komentar