Lontong Isi
Cerita saya terinspirasi dari kegiatan saya pergi bekerja sehari-hari menggunakan kereta api kelas Ekonomi Bekasi – Jakarta Kota. Letak kantor yang cukup jauh membuat kereta jadi satu-satunya pilihan kendaraan yang `serba lebih'; lebih cepat, lebih irit, lebih lancar, meski ada lebih lainnya yang tidak menguntungkan; lebih desak-desakan, lebih rawan pencopet, lebih banyak laki-laki iseng, dan lebih nyebelin kalau ternyata keretanya telat, atau bahkan mati di tengah-tengah jalan. Tapi topik cerita saya bukan membahas tentang kereta api kelas ekonomi ini.
Pagi ini, saya melihat seorang nenek yang sudah renta duduk bersandar pada salah satu tiang penyangga stasiun.Bajunya kumal dan lusuh. Ia hanya diam, di depannya tidak ada kaleng atau wadah apapun untuk menaruh uang. Bisa saya artikan, ia tidak sedang meminta-minta. Walau begitu, ada saja orang yang menjejalkan uang ke tangan sang nenek, lalu nenek itu mengucapkan terima kasih.
Entah keinginan dari mana, saya menghampiri nenek tersebut. Sembari menunggu kereta, pikir saya. Saya berjongkok di sebelah nenek tersebut. Si nenek menyadari kehadiran saya dan berkata,
"Berangkat kerja, Neng?" sambil tersenyum. Sekarang saya bisa lebih memperhatikan wajahnya. Tidak ada lagi rambut hitam di kepalanya, wajahnya penuh kerutan disana sini, matanya abu-abu seperti orang yang sudah tua lainnya. Tapi senyumnya hangat dan terlihat tulus. Saya mengangguk mengiyakan pertanyaan nenek tersebut. Lalu saya bertanya,
"Nenek tinggal di sekitar sini?". Lagi-lagi nenek itu tersenyum dan menunjuk sebuah tempat di pinggiran kereta.
"Saya bukan tinggal, tapi tidur dan hidup disana." Hati saya miris mendengar jawaban tersebut. Tempat itu bukan gubuk, apalagi sebuah rumah, melainkan hanya sebidang tempat yang disulap menjadi tempat tinggal oleh nenek tersebut. Beralaskan koran, sebuah buntelan yang saya perkirakan isinya beberapa helai baju, sebuah piring dan sebuah gelas aqua kosong.
Lalu saya mulai bertanya hal lainnya:
Saya : Maaf Nek, Anaknya ada berapa?
Si Nenek : Empat. 2 laki-laki, 2 perempuan.
Saya : Lalu dimana mereka? (Saya tahu lancang berkata seperti ini, tapi saya penasaran)
Si Nenek : (Menggeleng) Saya tidak tahu. Saya dengar satu anak laki-laki saya masuk penjara, dan saya tidak tahu kemana yang 3 lainnya.
Saya : Udah berapa lama Nenek gak ketemu mereka?
Si Nenek : (Menggeleng lagi) Lupa. Yang pasti sudah lama banget.
Saya terdiam. Mencoba memikirkan sesuatu, tapi jelas saya tidak tahu apa yang saya pikirkan. Saya hanya… SEDIH! Bagaimana bisa anak-anaknya membuang seorang ibu yang sudah melahirkan mereka dengan susah payah ke dunia ini? Terlebih lagi, lihat keadaan Nenek ini. Saat saya asik berenang dalam pikiran saya, Nenek itu berkata,
"Saya tidak mau mengemis seperti ini, tapi saya butuh uang untuk makan."
"Biasanya Nenek makan apa?" Ia pun menjawab,
"Lontong isi dan aqua, yah syukur-syukur kalau ada uang lebih, Nenek bisa beli nasi pakai tempe ." Saya meneguk ludah dengan susah payah, memposisikan diri saya di posisi Nenek itu? Entahlah, pasti serasa kiamat. Nenek itu menambahkan,
"Kalau ada uang lebih, saya ingin membelikan baju lebaran untuk anak cucu saya." My God, ia masih bisa memikirkan anak-anaknya yang telah meninggalkannya? ?
Tepat di seberang peron saya, ada sebuah keluarga. Ayahnya buta, ibunya menggendong anak yang paling kecil, dan dua anak laki-lakinya duduk di peron tanpa alas apapun. Mereka terlihat bahagia, meski (maaf) miskin. Si Nenek melihat mereka dengan pandangan hampa, atau kesepian tepatnya. Jelas saja, sebentar lagi bulan puasa datang. Yang beragama muslim sangat bahagia, karena ini moment yang pas untuk berkumpul bersama keluarga. Lalu bagaimana dengan Nenek ini?
Pergi kerja menggunakan kereta api mengharuskan saya melihat banyak hal menyedihkan. Disaat 25% penduduk jakarta membeli mobil baru, ganti HP, pergi dugem, shopping di mall-mall mewah, 15% hidup dengan sederhana, 60% hidup dengan serba kekurangan. Disaat hanya 10% yang beriman dan ikhlas menerima keadaannya, 50% lainnya merusak moral mereka sendiri; dengan merampok, mencuri, mencopet, prostitusi, dan banyak lainnya.
Kereta yang saya tunggu sudah memasuki stasiun. Saya merogoh kantong dan mengambil uang 20ribu lalu menjejalkan ke tangan Nenek tersebut sembari berkata, "Nenek harus makan ayam hari ini, kalau ada sisa bisa disimpan untuk beli baju lebaran cucu Nenek." Lalu si nenek mengucapkan terima kasih.
Sambil memasuki kereta, saya berpikir, Nenek itu saja masih menyimpan harapan untuk bisa bertemu dengan anak cucunya (bahkan berniat membelikan baju lebaran!), kenapa saya tidak bisa menyimpan secuil harapan juga akan adanya perubahan pada nasib negeri kita ini?
Sumber : Anonymous
Pagi ini, saya melihat seorang nenek yang sudah renta duduk bersandar pada salah satu tiang penyangga stasiun.Bajunya kumal dan lusuh. Ia hanya diam, di depannya tidak ada kaleng atau wadah apapun untuk menaruh uang. Bisa saya artikan, ia tidak sedang meminta-minta. Walau begitu, ada saja orang yang menjejalkan uang ke tangan sang nenek, lalu nenek itu mengucapkan terima kasih.
Entah keinginan dari mana, saya menghampiri nenek tersebut. Sembari menunggu kereta, pikir saya. Saya berjongkok di sebelah nenek tersebut. Si nenek menyadari kehadiran saya dan berkata,
"Berangkat kerja, Neng?" sambil tersenyum. Sekarang saya bisa lebih memperhatikan wajahnya. Tidak ada lagi rambut hitam di kepalanya, wajahnya penuh kerutan disana sini, matanya abu-abu seperti orang yang sudah tua lainnya. Tapi senyumnya hangat dan terlihat tulus. Saya mengangguk mengiyakan pertanyaan nenek tersebut. Lalu saya bertanya,
"Nenek tinggal di sekitar sini?". Lagi-lagi nenek itu tersenyum dan menunjuk sebuah tempat di pinggiran kereta.
"Saya bukan tinggal, tapi tidur dan hidup disana." Hati saya miris mendengar jawaban tersebut. Tempat itu bukan gubuk, apalagi sebuah rumah, melainkan hanya sebidang tempat yang disulap menjadi tempat tinggal oleh nenek tersebut. Beralaskan koran, sebuah buntelan yang saya perkirakan isinya beberapa helai baju, sebuah piring dan sebuah gelas aqua kosong.
Lalu saya mulai bertanya hal lainnya:
Saya : Maaf Nek, Anaknya ada berapa?
Si Nenek : Empat. 2 laki-laki, 2 perempuan.
Saya : Lalu dimana mereka? (Saya tahu lancang berkata seperti ini, tapi saya penasaran)
Si Nenek : (Menggeleng) Saya tidak tahu. Saya dengar satu anak laki-laki saya masuk penjara, dan saya tidak tahu kemana yang 3 lainnya.
Saya : Udah berapa lama Nenek gak ketemu mereka?
Si Nenek : (Menggeleng lagi) Lupa. Yang pasti sudah lama banget.
Saya terdiam. Mencoba memikirkan sesuatu, tapi jelas saya tidak tahu apa yang saya pikirkan. Saya hanya… SEDIH! Bagaimana bisa anak-anaknya membuang seorang ibu yang sudah melahirkan mereka dengan susah payah ke dunia ini? Terlebih lagi, lihat keadaan Nenek ini. Saat saya asik berenang dalam pikiran saya, Nenek itu berkata,
"Saya tidak mau mengemis seperti ini, tapi saya butuh uang untuk makan."
"Biasanya Nenek makan apa?" Ia pun menjawab,
"Lontong isi dan aqua, yah syukur-syukur kalau ada uang lebih, Nenek bisa beli nasi pakai tempe ." Saya meneguk ludah dengan susah payah, memposisikan diri saya di posisi Nenek itu? Entahlah, pasti serasa kiamat. Nenek itu menambahkan,
"Kalau ada uang lebih, saya ingin membelikan baju lebaran untuk anak cucu saya." My God, ia masih bisa memikirkan anak-anaknya yang telah meninggalkannya? ?
Tepat di seberang peron saya, ada sebuah keluarga. Ayahnya buta, ibunya menggendong anak yang paling kecil, dan dua anak laki-lakinya duduk di peron tanpa alas apapun. Mereka terlihat bahagia, meski (maaf) miskin. Si Nenek melihat mereka dengan pandangan hampa, atau kesepian tepatnya. Jelas saja, sebentar lagi bulan puasa datang. Yang beragama muslim sangat bahagia, karena ini moment yang pas untuk berkumpul bersama keluarga. Lalu bagaimana dengan Nenek ini?
Pergi kerja menggunakan kereta api mengharuskan saya melihat banyak hal menyedihkan. Disaat 25% penduduk jakarta membeli mobil baru, ganti HP, pergi dugem, shopping di mall-mall mewah, 15% hidup dengan sederhana, 60% hidup dengan serba kekurangan. Disaat hanya 10% yang beriman dan ikhlas menerima keadaannya, 50% lainnya merusak moral mereka sendiri; dengan merampok, mencuri, mencopet, prostitusi, dan banyak lainnya.
Kereta yang saya tunggu sudah memasuki stasiun. Saya merogoh kantong dan mengambil uang 20ribu lalu menjejalkan ke tangan Nenek tersebut sembari berkata, "Nenek harus makan ayam hari ini, kalau ada sisa bisa disimpan untuk beli baju lebaran cucu Nenek." Lalu si nenek mengucapkan terima kasih.
Sambil memasuki kereta, saya berpikir, Nenek itu saja masih menyimpan harapan untuk bisa bertemu dengan anak cucunya (bahkan berniat membelikan baju lebaran!), kenapa saya tidak bisa menyimpan secuil harapan juga akan adanya perubahan pada nasib negeri kita ini?
Sumber : Anonymous
Komentar