"Cinta Yang Tak Rumit Dari Faiz"
Apa yang menyebabkan kita
menyapa atau tidak menyapa, saat bertemu seseorang? Kebanyakan kita menyapa
karena kita mengenal atau minimal mengetahui seseorang itu. Bisa juga karena
kita menyukai atau menghormati orang tersebut, karena memang kebiasaan, atau
punya keperluan. Mungkin juga sekadar basa basi. Apa pun itu, saya belajar
banyak soal ini dari seorang anak kecil yang berbeda umur 26 tahun dari saya.
Setiap hari saat berjalan kaki menuju sekolahnya yang tak begitu jauh dari
rumah, Faiz akan melewati deretan panjang rumah yang ada di sekitar kami. Empat
tahun yang lalu, ketika Faiz masih TK, saya takjub menyaksikan bagaimana cara
ia menyapa! Semua tetangga yang kebetulan dilewati atau ditemuinya di jalan,
tak akan luput dari teguran ramah disertai senyum lebar Faiz.
"Selamat pagi, Pak, selamat pagi, Bu…."
"Assalaamu'alaikum…."
"Mari Oma, mari Opa…"
"Dari mana, Tante?"
"Wah hari ini Kakak berseri sekali!"
"Mau kuliah, Bang?"
"Eh, ketemu adik cakep. Mau kemana pagi-pagi sudah rapi?"
Dan seterusnya….
Saat ia duduk di kelas II SD , saya pernah bertanya pada Faiz,
"Mas Faiz,apa kamu tak lelah menyapa begitu banyak orang setiap pagi?" Faiz tertawa.
"Tidaklah, Bunda. Aku senang karena senyum dan sapaku mungkin bukan mengawali pagiku saja. Tapi mengawali pagi orang lain. Lagipula senyum itu kan sedekah, Bunda."
Saya nyengir. Pernyataan yang unik dari anak yang waktu itu belum berumur delapan tahun.
"Subhanallah. Kalau dihitung dengan uang, sedekahmu mungkin sudah milyaran," ujar saya sambil mencium pipi Faiz yang memerah.
Setiap kali hadir pada arisan yang diadakan ibu-ibu sekitar rumah, mereka kerap membicarakan Faiz.
"Waduh, Faiz itu ramah sekali ya, Bu. Kalau bertemu saya selalu menegur lebih dulu, senyumnya manis sekali."
"Kok bisa seperti itu sih, Bu? Bagaimana mendidiknya?"
Saya tersenyum. Bagaimana mengatakannya? Sesungguhnya saya tak pernah mendidik Faiz secara khusus untuk menyapa dan tersenyum. Sayalah yang banyak belajar dari Faiz!
Terbayang lagi berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai duduk di bangku SD. Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu dipanggilnya, diajak makan dan minum.
"Hari ini di rumah masak sop dan perkedel."
Atau "Bapak mau bawa kopi untuk di jalan biar tidak mengantuk? Mau teh manis dingin?" Ia akan berlari ke kamar, mengambil celengan dan mengeluarkan lembaran kertas dari sana untuk diberikan pada mereka.
Belum lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat pun disuruh mampir. Ada saja yang ditawarkannya.
"Istirahat dulu di sini, Pak. Kan capek. Hari panas sekali. Sini, makan kue dan minum dulu. Atau mau makan nasi?" Selain itu ia pun akan bisik-bisik pada anggota keluarga lainnya untuk membeli sesuatu dari tukang jualan itu, meski kami tak terlalu membutuhkannya.
"Apa salahnya sih menolong orang?" ujarnya.
Maka di rumah mungil yang kami tempati, tak pernah ada hari di mana kami memasak sekadar pas untuk keluarga. Selalu ada tamu-tamu istimewa yang entah siapa. Faiz mengundang mereka secara tak terduga.
"Ikhlas yaaa, Bunda…," katanya sambil tersenyum manis.
Lalu apakah ada lagi yang bisa saya ucapkan, meski dengan terbata? Saya hanya mampu memeluk Faiz kuat-kuat.
Oleh: Helvy Tiana Rosa
"Selamat pagi, Pak, selamat pagi, Bu…."
"Assalaamu'alaikum…."
"Mari Oma, mari Opa…"
"Dari mana, Tante?"
"Wah hari ini Kakak berseri sekali!"
"Mau kuliah, Bang?"
"Eh, ketemu adik cakep. Mau kemana pagi-pagi sudah rapi?"
Dan seterusnya….
Saat ia duduk di kelas II SD , saya pernah bertanya pada Faiz,
"Mas Faiz,apa kamu tak lelah menyapa begitu banyak orang setiap pagi?" Faiz tertawa.
"Tidaklah, Bunda. Aku senang karena senyum dan sapaku mungkin bukan mengawali pagiku saja. Tapi mengawali pagi orang lain. Lagipula senyum itu kan sedekah, Bunda."
Saya nyengir. Pernyataan yang unik dari anak yang waktu itu belum berumur delapan tahun.
"Subhanallah. Kalau dihitung dengan uang, sedekahmu mungkin sudah milyaran," ujar saya sambil mencium pipi Faiz yang memerah.
Setiap kali hadir pada arisan yang diadakan ibu-ibu sekitar rumah, mereka kerap membicarakan Faiz.
"Waduh, Faiz itu ramah sekali ya, Bu. Kalau bertemu saya selalu menegur lebih dulu, senyumnya manis sekali."
"Kok bisa seperti itu sih, Bu? Bagaimana mendidiknya?"
Saya tersenyum. Bagaimana mengatakannya? Sesungguhnya saya tak pernah mendidik Faiz secara khusus untuk menyapa dan tersenyum. Sayalah yang banyak belajar dari Faiz!
Terbayang lagi berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai duduk di bangku SD. Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu dipanggilnya, diajak makan dan minum.
"Hari ini di rumah masak sop dan perkedel."
Atau "Bapak mau bawa kopi untuk di jalan biar tidak mengantuk? Mau teh manis dingin?" Ia akan berlari ke kamar, mengambil celengan dan mengeluarkan lembaran kertas dari sana untuk diberikan pada mereka.
Belum lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat pun disuruh mampir. Ada saja yang ditawarkannya.
"Istirahat dulu di sini, Pak. Kan capek. Hari panas sekali. Sini, makan kue dan minum dulu. Atau mau makan nasi?" Selain itu ia pun akan bisik-bisik pada anggota keluarga lainnya untuk membeli sesuatu dari tukang jualan itu, meski kami tak terlalu membutuhkannya.
"Apa salahnya sih menolong orang?" ujarnya.
Maka di rumah mungil yang kami tempati, tak pernah ada hari di mana kami memasak sekadar pas untuk keluarga. Selalu ada tamu-tamu istimewa yang entah siapa. Faiz mengundang mereka secara tak terduga.
"Ikhlas yaaa, Bunda…," katanya sambil tersenyum manis.
Lalu apakah ada lagi yang bisa saya ucapkan, meski dengan terbata? Saya hanya mampu memeluk Faiz kuat-kuat.
Oleh: Helvy Tiana Rosa
Komentar