REVOLUSI DIGITAL (KISAH 09) Cikal Bakal Internet
Tanpa peran pemerintah, tampaknya tak akan pernah ada internet
Oleh Andrianto Soekarnen
Kalaulah ada sedikit manfaat dari era Perang Dingin (1945-1989), itu adalah perlombaan pencapaian dalam ilmu pengatahuan dan teknologi. Dua kali Uni Soviet berhasil menonjok Amerika Serikat, yakni saat negeri tirai besi berhasil mengikuti jejak AS meledakan bom atom dan saat mereka meluncurkan satelit Sputnik untuk memimpin lomba penguasaan luar angkasa. Tentu, AS tak tinggal diam.
Salah satu program riset pertahanan AS adalah Advanced Researche Projects Agency (ARPA). Didirkan pada 1950-an, ARPA bukanlah kantor pemerintah biasa. Ia didisain untuk dapat bergerak cepat dan bebas, dengan sedikit peraturan pengikat. Salah satu kelompok dalam ARPA adalah Information Processing Techniques Office (IPTO). Divisi ini melakukan riset komputer grafik, komunikasi jaringan, super komputer, dan mesin pendidikan mutakhir.
Pada waktu itu, komputer pada umumnya dikunci dalam ruang besar yang terisolasi. Ia hanya dapat dijalankan seorang ahli yang secara hati-hati memasukan punch card ke dalam mesin besar dan membaca hasinya beberapa jam kemudian. Terpikir waktu itu untuk membuat komputer yang lebih akrab dengan manusia biasa. Komputer harus bisa dioperasikan serdadu (baca juga "Kisah 05: Nietzche Era Digital").
Sementara itu, di kampus Massachusetts Institut of Technology (MIT), terjadi sebuah krisis. Ribuan mahasiswa teknik memenuhi ruang komputer kampus membawa kotak punch card berisi program. Mereka menunggu giliran untuk menggunakan komputer mainframe kampus. Di tahun 1960, mahasiswa sering harus menunggu hingga satu minggu untuk mendapatkan hasil dari program mereka.
Para ahli IPTO kemudian membujuk MIT mencoba penggunaan komputer untuk umum. Melalui proyek Multiple Access Computing (MAC), diterapkan konsep time-sharing. Komputer besar dihubungkan pada beberapa terminal. Para mahasiswa dapat mengakses komputer besar (di kemudian hari akan dikenal sebagai server) dari terminal-terminal tadi. Dengan demikian, kemampuan server akan teroptimalkan karena digunakan bersama-sama. Sistem time-sharing yang diujicoba di MIT segera mendapat sambutan luar biasa dari kantor-kantor swasta yang menginginkan efisiensi.
Sementara itu, di markas ARPA terjadi perkembangan lebih jauh. Setelah berhasil membagi satu server kepada beberapa terminal pengguna, mulai dipikirkan untuk melakukan komunikasi antar komputer, bahkan antar komputer pemerintah yang tersebar di seluruh negeri. Bagaimana caranya komputer-komputer itu bisa saling berkomunikasi?
Kebetulan, pada akhir 1950-an, General Electric (GE) meluncurkan produk bernama"modem" (singkatan dari MOdulator dan DEModulator) . Modulasi adalah peristiwa mengubah data digital komputer menjadi suara sehingga bisa dikirimkan lewat kabel telepon. Sebaliknya, demodulasi adalah mengubah data suara menjadi data komputer. Modem memungkinkan komputer di tempat berbeda berbagi data menggunakan sambungan telepon.
Setelah komputer dan saluran komunikasi tersedia, tantangan berikutnya adalah membuat aturan standar komunikasi antar komputer. Untuk itu diciptakanlah router melalui proyek Interface Message Processor (IMP). Router adalah sejenis gerbang yang diletakan sebelum data memasuki komputer. Tugas alat ini adalah mengubah bahasa komputer (apapun bahasa itu) ke dalam format IMP. Setelah itu, data dikirimkan ke router komputer lain. Router kedua itu menerjemahkan format IMP ke dalam bahasa yang sesuai dengan komputernya. Dari situ terbentulah ARPANET, jaringan internet pertama yang menghubungkan komputer-komputer kampus dan kantor pemerintahan di AS.
Pemerintah AS terus membiayai proyek IPTO hingga tahun 1990-an. Antara 1960-1990, dana yang dikucurkan untuk proyek internet ini mencapai $2 miliar (sekitar Rp20 triliun). Sistem tersebut disempurnakan di sepanjang tahun 1970-an melalui sebuah prinsip yang dinamakan Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP). Pada awal 1980-an, pemerintah AS memutuskan membuka rahasia sistem ini kepada publik dan membiarkannya menjadi agen globalisasi.
Oleh Andrianto Soekarnen
Kalaulah ada sedikit manfaat dari era Perang Dingin (1945-1989), itu adalah perlombaan pencapaian dalam ilmu pengatahuan dan teknologi. Dua kali Uni Soviet berhasil menonjok Amerika Serikat, yakni saat negeri tirai besi berhasil mengikuti jejak AS meledakan bom atom dan saat mereka meluncurkan satelit Sputnik untuk memimpin lomba penguasaan luar angkasa. Tentu, AS tak tinggal diam.
Salah satu program riset pertahanan AS adalah Advanced Researche Projects Agency (ARPA). Didirkan pada 1950-an, ARPA bukanlah kantor pemerintah biasa. Ia didisain untuk dapat bergerak cepat dan bebas, dengan sedikit peraturan pengikat. Salah satu kelompok dalam ARPA adalah Information Processing Techniques Office (IPTO). Divisi ini melakukan riset komputer grafik, komunikasi jaringan, super komputer, dan mesin pendidikan mutakhir.
Pada waktu itu, komputer pada umumnya dikunci dalam ruang besar yang terisolasi. Ia hanya dapat dijalankan seorang ahli yang secara hati-hati memasukan punch card ke dalam mesin besar dan membaca hasinya beberapa jam kemudian. Terpikir waktu itu untuk membuat komputer yang lebih akrab dengan manusia biasa. Komputer harus bisa dioperasikan serdadu (baca juga "Kisah 05: Nietzche Era Digital").
Sementara itu, di kampus Massachusetts Institut of Technology (MIT), terjadi sebuah krisis. Ribuan mahasiswa teknik memenuhi ruang komputer kampus membawa kotak punch card berisi program. Mereka menunggu giliran untuk menggunakan komputer mainframe kampus. Di tahun 1960, mahasiswa sering harus menunggu hingga satu minggu untuk mendapatkan hasil dari program mereka.
Para ahli IPTO kemudian membujuk MIT mencoba penggunaan komputer untuk umum. Melalui proyek Multiple Access Computing (MAC), diterapkan konsep time-sharing. Komputer besar dihubungkan pada beberapa terminal. Para mahasiswa dapat mengakses komputer besar (di kemudian hari akan dikenal sebagai server) dari terminal-terminal tadi. Dengan demikian, kemampuan server akan teroptimalkan karena digunakan bersama-sama. Sistem time-sharing yang diujicoba di MIT segera mendapat sambutan luar biasa dari kantor-kantor swasta yang menginginkan efisiensi.
Sementara itu, di markas ARPA terjadi perkembangan lebih jauh. Setelah berhasil membagi satu server kepada beberapa terminal pengguna, mulai dipikirkan untuk melakukan komunikasi antar komputer, bahkan antar komputer pemerintah yang tersebar di seluruh negeri. Bagaimana caranya komputer-komputer itu bisa saling berkomunikasi?
Kebetulan, pada akhir 1950-an, General Electric (GE) meluncurkan produk bernama"modem" (singkatan dari MOdulator dan DEModulator) . Modulasi adalah peristiwa mengubah data digital komputer menjadi suara sehingga bisa dikirimkan lewat kabel telepon. Sebaliknya, demodulasi adalah mengubah data suara menjadi data komputer. Modem memungkinkan komputer di tempat berbeda berbagi data menggunakan sambungan telepon.
Setelah komputer dan saluran komunikasi tersedia, tantangan berikutnya adalah membuat aturan standar komunikasi antar komputer. Untuk itu diciptakanlah router melalui proyek Interface Message Processor (IMP). Router adalah sejenis gerbang yang diletakan sebelum data memasuki komputer. Tugas alat ini adalah mengubah bahasa komputer (apapun bahasa itu) ke dalam format IMP. Setelah itu, data dikirimkan ke router komputer lain. Router kedua itu menerjemahkan format IMP ke dalam bahasa yang sesuai dengan komputernya. Dari situ terbentulah ARPANET, jaringan internet pertama yang menghubungkan komputer-komputer kampus dan kantor pemerintahan di AS.
Pemerintah AS terus membiayai proyek IPTO hingga tahun 1990-an. Antara 1960-1990, dana yang dikucurkan untuk proyek internet ini mencapai $2 miliar (sekitar Rp20 triliun). Sistem tersebut disempurnakan di sepanjang tahun 1970-an melalui sebuah prinsip yang dinamakan Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP). Pada awal 1980-an, pemerintah AS memutuskan membuka rahasia sistem ini kepada publik dan membiarkannya menjadi agen globalisasi.
Komentar